OPINI - Usai sujud dhuha di Masjid Nabawi Madinah, terbayang berbagai kekhawatiran yang ramai selama ini tentang pemilu 2024. Muncul pertanyaan yang harus segera dijawab bagaimana membuat pemilu 2024 aman dan damai. Ini bukan hanya menjadi tugas pemimpin, aparat, penyelenggara pemilu, pengawas dan kontestan. Tapi ini juga menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai anak bangsa.
Seringkali kontestasi dalam pemilu melahirkan konflik. Ini yang kita tidak mau. Kompetisi merupakan keharusan untuk mendapatkan pemimpin terbaik bangsa. Tapi no konflik. Bagaimana meminimalisir, bahkan menihilkan konflik dalam kontestasi pilpres 2024.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Munculnya konflik seringkali akibat keterbelahan massa dari para kontestan. Jika mereka yang berkontestasi memiliki basis massa yang terbelah dan sulit disatukan, maka potensi konflik akan sangat terbuka. Apalagi jika negara sebagai penyelenggara tidak netral, maka ini akan menjadi semakin rawan terjadinya konflik. Solusinya, silangkan masing-masing kontestan dengan pasangan yang memiliki basis massa berbeda. Hijau dipasangkan dengan kuning. Merah dipasangkan dengan biru. Dan putih dipasangkan dengan cokelat. Warna ini tidak merepresentasikan partai. Sama sekali tidak. Anda jangan gagal paham. Ini hanya analogi.
Ini sebuah gagasan, tapi perlu dipertimbangkan. Kita tahu, yang kemungkinan bakal maju dalam kontestasi pilpres 2024 adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Tiga tokoh terbaik bangsa. Jika Prabowo dipasangkan dengan Gibran Rakabuming Raka (Walikota Solo), sebagaimana yang ramai dibicarakan publik selama ini, Ganjar dipasangkan dengan Kaesang Pangarep (Pengusaha muda yang sukses, sekaligus pemilik club bola di Solo) dan Anies Baswedan dipasangkan dengan Bobby Nasution (Walikota Medan), maka ini bisa menjadi solusi atas kekhawatiran selama ini.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Jika tiga pasangan ini yang maju di pilpres 2024, kecil kemungkinan akan ada konflik di pra, saat dan pasca pilpres. Pasangan masing-masing capres adalah para tokoh muda yang punya hubungan saudara. Basis massa satu sama lain akan saling menghormati. Dari sinilah ekspektasi rakyat akan adanya pemilu yang jujur dan adil bisa diwujudkan.
Di jaman kerajaan, antar saudara bisa saling bunuh. Tapi tidak di era demokrasi. Di atas sistem demokrasi, peradaban sudah semakin matang. Apalagi, ketiga bakal cawapres tersebut relatif dekat, akur dan tidak memiliki persoalan satu sama lainnya.
Basis massa dari tiga bakal cawapres tersebut berada dalam satu ceruk. Maka, siapapun yang akan memenangkan kontestasi di pilpres 2024 bisa diterima oleh yang lainnya. Bahkan mereka akan bersatu dalam satu koalisi, dan tidak ada lagi oposisi. Jika ini terjadi, maka pilpres 2024 hampir pasti damai.
Damai pemiluku, damai negeriku, damai Indonesiaku. Ini yang sama-sama kita rindukan.
Madinah-Jeddah, 5 Juli 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa