JAKARTA - Politik identitas dan hoaks merupakan ancaman serius yang harus diwaspadai menjelang pemilu 2024. Politik identitas dapat memicu polarisasi dalam masyarakat, dengan kelompok-kelompok yang semakin terpecah belah.
Sr. Analis TITA (Taiwan-Indonesia Trade Analysis) Tulus J. Maha, MBA mengatakan, hoaks atau berita palsu dapat merusak kepercayaan publik pada lembaga dan proses demokratis. Mereka dapat mempengaruhi opini publik dan memengaruhi hasil pemilu.
Ini termasuk upaya untuk meningkatkan literasi media, pendidikan politik, transparansi dalam proses pemilihan, dan penegakan hukum yang kuat terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
”Hoax yang terkait dengan Pemilu dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap calon dan hasil Pemilu itu sendiri. Oleh karena itu, edukasi mengenai literasi media dan kemampuan memilah informasi menjadi penting, ” ujarnya dalam sebuah acara podcast bertajuk ’Cegah bahaya hoaks dan politik identitas guna antisipasi gerakan ”people power” tolak pemilu’ pada minggu (17/9/2023).
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Tulus menyebut, untuk melawan bahaya hoaks, pendidikan dan literasi media sangat penting dilakukan. Pendidikan ini adalah langkah penting dalam melawan penyebaran informasi palsu dan membangun masyarakat yang lebih kritis dan berpengetahuan tentang media dan informasi yang mereka konsumsi.
Ia juga menjelaskan bahwa politik identitas adalah isu yang perlu diwaspadai dan diperlakukan dengan cermat dalam konteks politik. Ini adalah praktik yang memanfaatkan perbedaan-perbedaan identitas seperti suku, agama, etnis, atau gender untuk memobilisasi dukungan politik.
”Politik identitas dapat memicu polarisasi masyarakat dan memperkeruh suasana politik. Penting bagi semua aktor politik untuk mengedepankan isu-isu substantif dan fokus pada program-program yang mampu memberikan manfaat konkret bagi masyarakat, tanpa memanfaatkan perpecahan identitas sebagai alat politik, ” jelasnya.
Selain itu, Politik identitas dan ujaran kebencian dapat memicu konflik, ketegangan, dan kekerasan sosial. Hal ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik negara.
”Ujaran kebencian yang sering kali muncul dalam konteks politik perlu diberantas dengan tegas. Hukum harus diterapkan secara adil terhadap siapa pun yang menyebarkan ujaran kebencian atau memprovokasi konflik melalui media sosial maupun platform digital lainnya, ” katanya.
Untuk menghadapi ancaman ini, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, media, partai politik, masyarakat sipil, dan individu. Ini termasuk upaya untuk meningkatkan literasi media, pendidikan politik, transparansi dalam proses pemilihan, dan penegakan hukum yang kuat terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
”Tidak hanya itu, masyarakat juga memiliki peran penting dalam melaporkan konten berbahaya ini agar bisa ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang, ” pungkasnya.
Kesadaran tentang dampak serius yang dapat ditimbulkan oleh politik identitas dan hoaks adalah langkah pertama dalam melawan ancaman ini. ***