JAKARTA – Persemar-22 adalah singkatan dari Peristiwa Maret tahun 2022. Persemar-22 mengingatkan kita pada sebuah peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu, 12 Maret 2022, yang diawali oleh aksi damai Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, bersama rekan-rekannya ke Polres Lampung Timur sehari sebelumnya.
Aksi damai itu diwarnai perebahan 3 buah papan bunga yang isinya melecehkan wartawan, yang dikirim oleh oknum antah-berantah, yang salah satunya diklaim atas nama segelintir orang yang mengaku tokoh adat Lampung Timur. Esok, Minggu 12 Maret 2023, genap satu tahun peristiwa kriminalisasi Wilson Lalengke dan kawan-kawan oleh oknum aparat Polres Lampung Timur.
Sebagaimana diketahui, kejadian perobohan papan bunga di markas Polisi Lampung Timur dan disusul penangkapan Wilson Lalengke bersama kawan-kawannya cukup viral pasca kejadian tersebut. Tokoh pers nasional itu selanjutnya diproses hukum dengan berbagai dalih dan alibi pembenaran yang sarat dengan rekayasa kasus dan pemalsuan alat bukti. Wilson Lalengke bersama dua rekannya, yakni Ketua DPD PPWI Lampung, Edi Suryadi, dan wartawan lokal, Sunarso, ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya kemudian dijebloskan hakim ke penjara dengan hukuman masing-masing 9 bulan penjara untuk Wilson Lalengke, dan 5 bulan penjara untuk Edi Suryadi dan Sunarso.
Sekembalinya dari Rutan Wayhui Bandar Lampung, tempat ketiganya ditahan sebagai warga binaan negara, Wilson Lalengke menggagas sebuah organisasi para mantan tahanan bernama Persaudaraan Mantan Tahanan atau disingkat PERMATA Indonesia. Organisasi yang didirikan di Jakarta oleh belasan mantan tahanan dari berbagai daerah di tanah air itu kini telah mulai aktivitasnya, antara lain mengelola Griya Abhipraya Bandar Lampung bekerjasama dengan Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Bandar Lampung. Griya ini memiliki beberapa program utama, salah satunya adalah produksi kopi olahan dengan mereka Kopi Permata.
Dari kediamannya di bilangan Slipi-29, Jakarta Barat, Wilson Lalengke, menyampaikan bahwa salah satu tujuan utama pendirian organisasi Permata Indonesia adalah untuk membangun pola pikir baru di tengah masyarakat. Hal itu, kata dia, amat penting dalam rangka memperbaiki budaya berhukum di negara ini.
“Kita sudah lelah meminta kepada para penegak hukum untuk melakukan tugasnya dengan baik, benar, profesional, dan berintegritas, didasarkan pada moralitas yang tinggi. Namun ternyata, semakin hari hukum kita semakin hancur dan tidak mencapai sasaran yang diinginkan oleh hukum itu sendiri, ” ujar alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu memulai pernyataannya, Sabtu, 11 Maret 2023.
Baca juga:
Gawat, KPK Membuat Program Desa Antikorupsi
|
Mengapa bisa demikian? Menurutnya, karena pola pikir masyarakat kebanyakan tentang berhukum yang benar dan ideal itu tidak dibangun. Kita hanya mengerti bahwa hukum itu adalah sanksi hukuman yang menakutkan, yang oleh karena itu jangan dilanggar. Masyarakat Indonesia hanya dijejali dengan pemahaman hukum yang berisi doktrin larangan dan sanksi hukuman.
“Kita tidak pernah berpikir untuk mengembangkan sebuah pemahaman bahwa esensi hukum adalah tanggung jawab. Prinsip berani berbuat berani bertanggung jawab hanya sebagai hiasan bibir belaka. Dalam kenyataannya, dapat dihitung dengan jari manusia Indonesia yang mampu menunjukkan diri sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya, ” jelas mantan guru PPKn di SMA Plus Provinsi Riau dan beberapa sekolah di Riau belasan tahun lalu.
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
Oleh karena mind-set terhadap hukum yang salah itu, maka yang terwujud adalah masyarakat permisif yang ketakutan ketika berhadapan dengan hukum. Akibatnya, di saat seseorang sudah tersangkut masalah hukum, mereka cenderung mencari jalan instan untuk keluar dari tanggung jawab atas konsekwensi hukum yang harus dipikul. Yang terjadi kemudian adalah sistem transaksi hukum antara si tersandung hukum dengan aparat penegak hukum. Pola ini akhirnya berkembang menjadi semacam bisnis hukum menggunakan prinsip-prinsip ekonomi, seperti prinsip ‘supply and demand’ dan ‘biaya kecil untung sebesar-besarnya’.
Di kalangan aparat hukum muncul istilah lahan basah dan lahan kering. Kita dengan mudah dapat melihat betapa girangnya seorang aparat kepolisian jika ditugaskan di wilayah tertentu. Lampung salah satunya. Daerah yang memiliki tingkat kriminal yang tinggi biasanya dianggap wilayah yang sangat legit bagi aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Transaksi hukum menjadi hal biasa di wilayah-wilayah semacam ini.
“Sebenarnya, fenomena itu bukan hanya terjadi sekarang. Dari sejak jaman orde baru juga sudah ada, tapi tidak semasif dan seterbuka saat ini. Kondisi hukum makin parah terjadi sejak reformasi berhasil memisahkan Polri dan TNI yang awalnya berada dalam satu payung Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Aparat Polri, terutama di unit reskrim dan lalu-lintas yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dapat dengan mudah menggunakan kewenangan hukum yang dipegangnya untuk bertransaksi hukum dengan si terduga pelanggar hukum, ” terang Wilson Lalengke.
Parahnya, perilaku buruk yang merebak secara terstruktur-sistemik-masif di tubuh Polri tersambut-bergayut oleh aparat kejaksaan, selanjutnya diaminkan oleh jajaran kehakiman di pengadilan. Kebanyakan pengacara juga nimbrung memanfaatkan peluang bertransaksi-hukum itu dengan caranya sendiri.
“Saya ingat saat berproses di Polres Lampung Timur, ada seorang pengacara yang katanya dari organisasi advokat Peradi menawarkan bantuan hukum ke saya dan kawan-kawan. Akhirnya saya tolak mentah-mentah setelah beberapa kali dia membujuk saya untuk mau menunjuknya sebagai pembela. Bagaimana tidak, usai mendampingi saya dalam pelaksanaan rekonstrukti kejadian atas penunjukan polisi, dia justru pergi bersama-sama dengan para polisi dan jaksa makan bersama di sebuah restoran. Artinya, dia terindikasi makelar hukum yang memanfaatkan peluang bertransaksi-hukum dengan saya, ” tuturnya.
Dari perjalanan menyelami alam hukum Indonesia secara langsung di Persemar-22 dari awal hingga selesai menjalani kewajiban dan tanggung jawabnya di Rutan Wayhui, Wilson Lalengke tiba pada sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya yang perlu dibangun saat ini adalah pola pikir berhukum yang benar: JANGAN TAKUT DIPENJARA. Dengan keberanian bertanggung jawab atas apa yang dilakukan maupun apa yang terjadi, entah secara sengaja ataupun tidak sengaja, entah disadari ataupun tidak disadari, oleh setiap warga masyarakat, maka kondisi berhukum di negara ini akan berangsur membaik.
“Saya tidak mengatakan bahwa jangan takut berbuat salah, apalagi jangan takut berbuat kejahatan, jangan takut berbuat kriminal. Sama sekali tidak begitu pemahamannya. Yang saya maksudkan adalah bahwa jika Anda telah tersangkut masalah hukum, hadapi saja dengan santai, berani, dan bertanggung jawab. Yakini bahwa Anda berada pada posisi tersalahkan, entah itu benar-benar salah ataupun kesalahan sebagai hasil rekayasa pihak tertentu, semuanya itu boleh terjadi karena Tuhan mengizinkannya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi tanpa izin Tuhan!” tegas pria yang menyelesaikan studi pasca sarjananya di 3 universitas bergengsi di Eropa, Birmingham University, Utrecht University, dan Linkoping University, itu.
Poin pentingnya adalah bahwa siapapun yang sudah tersangkut masalah hukum, tidak perlu mencari jalan pintas agar lolos dari jerat hukum. Setiap orang diharapkan untuk tidak bertransaksi hukum dengan aparat hukum ketika berhadapan dengan hukum. Hadapi saja dengan hati yang tenang, damai, dan penuh keihklasan serta penyerahan yang penuh kepada Tuhan, jalani jalan hidup yang disediakan Tuhan melalui proses hukum yang sedang dihadapi.
“Memang tidak mudah, tetapi yakinlah bahwa itu merupakan hal terbaik yang harus dilakukan. Pertanyaannya sederhana, apakah ketika Anda lolos dari jeratan hukum akan menjadikan Anda suci dan tidak bersalah? Tidak sama sekali. Anda justru berutang perbuatan jahat yang akan terus membayangi perjalanan hidup selanjutnya, ” beber pria kelahiran Morowali Utara ini.
Di dalam penjara, masih Wilson Lalengke, dia mengibaratkan sebagai sebuah miniatur komunitas masyarakat yang sedang bersekolah, belajar kehidupan. Sebagai sebuah komunitas warga, hampir semua jenis dan karakter manusia ada di dalam penjara. Ada orang kaya, ada orang miskin. Ada kelas elit, ada orang biasa. Ada orang alim, ada ulama, rohaniawan, dan lainnya.
“Penjara adalah sumber belajar kehidupan yang luar biasa dan tak habis-habisnya. Penjara hakekatnya adalah kampus kehidupan, tempat setiap orang dapat menimba ilmu pengetahuan hidup secara langsung tanpa banyak teori yang membosankan. Penjara adalah tempat teraman dan ternyaman bagi setiap orang yang mau belajar kesejatian hidup. Tidak hanya sebagai kampus, penjara juga adalah tempat ibadah, tempat rekreasi, rumah sakit, dan tempat beramal. Bagi saya, inilah esensi hukum dan penjara yang sesungguhnya, ” cerita Wilson Lalengke tentang pengalamannya ‘bersekolah’ di Rutan Wayhui, Bandar Lampung.
Salah satu penyebab ketakutan publik dalam berhukum dengan benar adalah sanksi sosial masyarakat. Stigma negatif yang dilekatkan publik kepada setiap mantan tahanan menjadi momok yang menakutkan. Tidak jarang, justru keluarga si mantan tahanan sendiri yang membuang sanak keluarganya itu karena merasa malu. Kondisi itu membuat setiap orang yang berhadapan dengan hukum berupaya maksimal untuk lolos dari kurungan penjara. Mereka akhirnya rela membayar hukum dengan angka berapapun juga untuk urusan ini.
“Sebenarnya sangat mudah menepis stigma negatif semacam itu. Hanya perlu sebuah pertanyaan saja: apakah Anda yang tidak pernah merasakan berada di balik jeruji besi dijamin lebih suci dan tidak memiliki kesalahan? Kata penceramah agama: Allah belum membukakan aibmu saja, jadi jangan merasa lebih baik dari orang yang ada di dalam penjara dan/atau para mantan tahanan, ” ujar Wilson Lalengke.
Sebaliknya, kata dia, para warga binaan dan mantan tahanan adalah orang-orang pilihan. Mereka dipilih Tuhan dari antara sekian banyak manusia bersalah di atas dunia ini, dan dimasukkan dalam sebuah proses yang kita sebut proses hukum.
“Para tahanan adalah ibarat batu-batuan yang kasar, buruk, terbuang, dan dianggap tidak berguna. Mereka terpilih oleh Sang Pemulung yang selanjutnya memasukan ke dalam bejana pemurnian, diproses melalui sistim penempaan tertentu, digilas, digiling, dipalu, dikikis, dipanaskan, didinginkan, dibentuk, digosok, di-amplas, dihaluskan, dan akhirnya difinalisasi menjadi batu permata. Mereka itu adalah berlian, ruby, safir, manikam, dan berbagai macam permata yang mahal harganya, ” jelas Wilson Lalengke panjang lebar.
Kepada para warga binaan yang masih menjalani proses di kampus kehidupan dimanapun berada, Wilson Lalengke berpesan, asahlah diri Anda dengan tekun, sabar, dan konsisten.
“Dengan bantuan para pembina dan pelatih yang ada, bentuklah diri Anda selama di dalam penjara, baik di bidang kepribadian maupun kemandirian diri, sehingga pada waktunya nanti, Anda boleh keluar menjadi PERMATA Indonesia yang berkilau, memancarkan sinar kebaikan dan kemanfaatan bagi setiap orang yang ada di sekitar Anda. (APL/Red)